Laman

Thursday, February 28, 2013

Tawassul yang Dibolehkan dan yang Dilarang

Tawassul yang Dibolehkan dan yang Dilarang

Tawassul secara bahasa berarti mendekatkan diri. Tawassul pun dibagi menjadi dua macam yaitu tawassul yang disyari’atkan dan tawassul yang terlarang. Dalam kesempatan kali ini masih melanjutkan bahasan ritual pesugihan. Di antara penyimpangan yang ada dari ritual tersebut adalah berbagai bentuk tawassul baik pada wali atau orang sholih dalam kubur atau pada makhluk ghaib. Penyimpangan ini pula dilakukan oleh orang musyrik di masa silam karena mereka melakukan peribadahan kepada selain Allah untuk semakin mendekatkan diri mereka pada Allah, sehingga ada syarat tumbal, sesajen dan sembelihan yang harus dipenuhi untuk tersampainya maksud. Kita lihat bahasan berikut ini.

Tawassul yang disyari’atkan

Ada beberapa bentuk tawassul jenis ini:

1- Tawassul dengan Asma’ul Husna, yakni kita berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang indah sesuai dengan karakter doa kita. Misalnya, “Yaa Ghafuur Ya Rahiim”, saat kita memohon ampunan dan rahmat-Nya; atau “Ya ‘Aziizu Ya Qawiyyu”, saat mendoakan kekalahan bagi musuh-musuh Islam; atau nama-nama lainnya yang tidak bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul seperti ini sangat dianjurkan, sebagaimana firman Allah,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah lah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu …” (QS. Al A’raaf: 180).

2- Tawassul dengan amal sholih kita, bukan dengan amalan orang lain. Dalilnya ialah kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal sholih yang pernah dilakukannya hingga batu yang menutup mulut gua tersebut terbuka atas izin Allah.

3- Tawassul dengan minta doa dari orang yang masih hidup dan hadir di dekat kita. Dalilnya adalah kisah si tunanetra yang terkenal dengan istilah haditsul a’ma, demikian pula kisah orang Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi sedang khutbah Jum’at, lalu mengeluhkan jalan yang pecah-pecah, keluarga yang kelaparan dan harta benda yang binasa akibat paceklik yang berkepanjangan, kemudian meminta agar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdo’a kepada Allah supaya turun hujan, dst. Demikian pula tawassul Umar dengan ‘Abbas di atas.

Anda mungkin bertanya: ‘Mengapa disyaratkan bahwa orang tersebut harus hidup dan hadir?‘ Jawabnya karena itulah yang disebutkan oleh hadits-hadits yang ada (dan shahih tentunya). Seperti tawassul Umar dengan Abbas, haditsul a’ma dan kisah si Badui di atas. Jelas bahwa yang dimintai doa adalah orang yang masih hidup dan hadir. Kalaulah kehadiran orang tersebut bukanlah syarat, pastilah si tunanetra tidak perlu capai-capai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula dengan si Arab badui.

Tawassul yang dilarang

Tawassul ini adalah semua bentuk tawassul yang tidak ada dalilnya. Ingat, tawassul merupakan ibadah yang hukum asalnya adalah haram kecuali jika ada perintah. Karena itu, semua bentuk tawassul yang tidak ada perintahnya adalah terlarang, meski tidak ada dalil yang melarangnya. Beberapa bentuk tawassul jenis ini yang dimaksud:

1- Tawassul dengan orang yang sudah mati dan berdoa kepadanya selain Allah Ta’ala. Ini termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allah yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (QS. Yunus: 106).

2- Tawassul dengan jaah (kedudukan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang-orang sholih di sisi Allah. Ini termasuk tawassul yang bid’ah dan tidak pernah dilakukan oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum, padahal mereka sangat mencintai dan memahami tingginya kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah Ta’ala.

Hal ini dikarenakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bisa bermanfaat bagi siapapun kecuali bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, meskipun bagi orang-orang terdekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Fathimah putri (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mintalah dari hartaku (yang aku miliki) sesukamu, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi (memberi manfaat) bagimu sedikitpun di hadapan Allah.”

Sebagian orang yang membolehkan tawassul ini berdalil dengan sebuah hadits palsu, “Ber-tawassul-lah kalian (dalam riwayat lain: Jika kalian memohon kepada Allah maka memohonlah) dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sngat agung.”

Hadits ini adalah hadits yang palsu dan merupakan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

3- Tawassul dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak para wali Allah.

Tawassul ini tidak diperbolehkan (dalam Islam), karena tidak ada satu nukilan pun dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan (kebolehannya). Imam Abu Hanifah dan dua orang murid utama beliau (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani) membenci (mengharamkan) seseorang yang mengucapkan dalam doanya, ‘(Ya Allah), aku memohon kepada-Mu dengan hak si Fulan, atau dengan hak para Nabi dan Rasul-Mu ‘alaihis salam, atau dengan hak Baitullah al-Haram (Ka’bah)’, atau yang semisal itu, karena tidak ada seorang pun yang mempunyai hak atas Allah.

Artikel di atas diringkas dari artikel Ritual Pesugihan (serial-5) di rumaysho.com:


No comments:

Post a Comment