Tawassul yang Dibolehkan dan yang Dilarang
Tawassul secara bahasa berarti mendekatkan diri. Tawassul pun dibagi
menjadi dua macam yaitu tawassul yang disyari’atkan dan tawassul yang
terlarang. Dalam kesempatan kali ini masih melanjutkan bahasan ritual
pesugihan. Di antara penyimpangan yang ada dari ritual tersebut adalah
berbagai bentuk tawassul baik pada wali atau orang sholih dalam kubur
atau pada makhluk ghaib. Penyimpangan
ini pula dilakukan oleh orang musyrik di masa silam karena mereka
melakukan peribadahan kepada selain Allah untuk semakin mendekatkan diri
mereka pada Allah, sehingga ada syarat tumbal, sesajen dan sembelihan
yang harus dipenuhi untuk tersampainya maksud. Kita lihat bahasan
berikut ini.
Tawassul yang disyari’atkan
Ada beberapa bentuk tawassul jenis ini:
1- Tawassul dengan Asma’ul Husna, yakni kita berdoa kepada Allah dengan
menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang indah sesuai dengan
karakter doa kita. Misalnya, “Yaa Ghafuur Ya Rahiim”, saat kita memohon
ampunan dan rahmat-Nya; atau “Ya ‘Aziizu Ya Qawiyyu”, saat mendoakan
kekalahan bagi musuh-musuh Islam; atau nama-nama lainnya yang tidak
bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul seperti ini sangat
dianjurkan, sebagaimana firman Allah,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah lah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu …” (QS. Al A’raaf: 180).
2- Tawassul dengan amal sholih kita, bukan dengan amalan orang lain.
Dalilnya ialah kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu
masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal sholih yang
pernah dilakukannya hingga batu yang menutup mulut gua tersebut terbuka
atas izin Allah.
3- Tawassul dengan minta doa dari orang yang
masih hidup dan hadir di dekat kita. Dalilnya adalah kisah si tunanetra
yang terkenal dengan istilah haditsul a’ma, demikian pula kisah orang
Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi sedang khutbah Jum’at, lalu
mengeluhkan jalan yang pecah-pecah, keluarga yang kelaparan dan harta
benda yang binasa akibat paceklik yang berkepanjangan, kemudian meminta
agar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdo’a kepada Allah
supaya turun hujan, dst. Demikian pula tawassul Umar dengan ‘Abbas di
atas.
Anda mungkin bertanya: ‘Mengapa disyaratkan bahwa orang
tersebut harus hidup dan hadir?‘ Jawabnya karena itulah yang disebutkan
oleh hadits-hadits yang ada (dan shahih tentunya). Seperti tawassul Umar
dengan Abbas, haditsul a’ma dan kisah si Badui di atas. Jelas bahwa
yang dimintai doa adalah orang yang masih hidup dan hadir. Kalaulah
kehadiran orang tersebut bukanlah syarat, pastilah si tunanetra tidak
perlu capai-capai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
demikian pula dengan si Arab badui.
Tawassul yang dilarang
Tawassul ini adalah semua bentuk tawassul yang tidak ada dalilnya.
Ingat, tawassul merupakan ibadah yang hukum asalnya adalah haram kecuali
jika ada perintah. Karena itu, semua bentuk tawassul yang tidak ada
perintahnya adalah terlarang, meski tidak ada dalil yang melarangnya.
Beberapa bentuk tawassul jenis ini yang dimaksud:
1- Tawassul
dengan orang yang sudah mati dan berdoa kepadanya selain Allah Ta’ala.
Ini termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya
keluar dari Islam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain
Allah yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak (pula) memberi
mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim
(musyrik).” (QS. Yunus: 106).
2- Tawassul dengan jaah
(kedudukan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang-orang
sholih di sisi Allah. Ini termasuk tawassul yang bid’ah dan tidak pernah
dilakukan oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum, padahal mereka sangat
mencintai dan memahami tingginya kedudukan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di sisi Allah Ta’ala.
Hal ini dikarenakan
kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bisa
bermanfaat bagi siapapun kecuali bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri, meskipun bagi orang-orang terdekat dengan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Fathimah putri (Nabi) Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, mintalah dari hartaku (yang aku miliki) sesukamu,
sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi (memberi manfaat) bagimu
sedikitpun di hadapan Allah.”
Sebagian orang yang membolehkan
tawassul ini berdalil dengan sebuah hadits palsu, “Ber-tawassul-lah
kalian (dalam riwayat lain: Jika kalian memohon kepada Allah maka
memohonlah) dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi
Allah sngat agung.”
Hadits ini adalah hadits yang palsu dan
merupakan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan
hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama ahli
hadits dalam kitab-kitab mereka, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
3- Tawassul dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak para wali Allah.
Tawassul ini tidak diperbolehkan (dalam Islam), karena tidak ada satu
nukilan pun dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjelaskan (kebolehannya). Imam Abu Hanifah dan dua orang murid utama
beliau (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani) membenci
(mengharamkan) seseorang yang mengucapkan dalam doanya, ‘(Ya Allah), aku
memohon kepada-Mu dengan hak si Fulan, atau dengan hak para Nabi dan
Rasul-Mu ‘alaihis salam, atau dengan hak Baitullah al-Haram (Ka’bah)’,
atau yang semisal itu, karena tidak ada seorang pun yang mempunyai hak
atas Allah.
Artikel di atas diringkas dari artikel Ritual Pesugihan (serial-5) di rumaysho.com:
No comments:
Post a Comment